Kamis, 14 September 2017

Emosi

Sarah berkali2 mengeluh seminggu ini. Semua pekerjaan tak ada yang sesuai ekpektasinya. Bukan tipe perfeksionis, hanya saja proses dan hasilnya tak seperti yang dibayangkan. Beban mental akan pekerjaannya sehari2 dan segala urusan tetek bengek rumah.

Pagi itu Sarah tampak sangat lelah. Tugas tambahan belum juga terselesaikan. Hanya rencana yang menumpuk di kepala. Tanpa ada celah waktu untuk terealisasi. Dia hampiri sang suami, berharap sandaran untuk menenangkan dan mendengar keluh kesahnya. Sarah butuh telinga, iya hanya telinga untuk mendengar dan bahu untuk bersandar.

Tapi, apa yang terjadi? Hardikan. Menangis, hanya itu yg Sarah bisa. Demi meluapkan emosi yang membuncah.
Pagi itu, demi melampiaskan emosi yabg sudah tak terkendali, Sarah berkendara seperti di luar kendalinya. Entah berapa ribu sumpah serapah dia rapalkan. Jarak 10km hanya ditempuh dg waktu 5 menit. Sampai Sarah sadar, "ah.. ini bukan aku. Aku punya kaki untuk berdiri, punya dua tangan untuk melakukan apa pun yang ku mau. Punya Tuhan sebagai sandaran dan tumpuan. Aku tak butuh seorang pun manusia untuk ku andalkan. Aku butuh mereka hanya nanti, jika aku mati. Aku wanita mandiri!!!"
Dan hari itu pun Sarah berubah.