Selasa, 18 September 2018

Berbagi 3


Dinda

Seperti malam sebelumnya, selesai pemotretan aku berencana menghabiskan waktu malam ku bersama Mas Reno, toh Mas Reno sudah pamit pada istrinya si Wanda akan menghabiskan seminggu ini dengan ku yang dia bilang gundik boss besar. Hahaha.. biarlah dikata aku wanita jalang, toh dia tak kalah jalangnya dengan ku. Aku menuju bar tempat kami biasa minum. Tak lama, hanya sekedar melepas penat.
Pukul 11 malam dengan keadaan setengah teler kami pulang ke rumah yang Mas Reno hadiahkan untuk ku sebulan lalu. Tak sebesar rumah warisan orang tua ku, namun cukup nyaman bagiku yang hanya tinggal sendiri. Di sebuah jalan remang aku tersentak, sepertinya mobil ku membentur sesuatu, aku tak berani turun sedangkan Mas Reno sudah tak sadarkan diri sejak masuk ke dalam mobil. Mungkin hanya pembatas jalan pikirku. Aku terus memacu mobilku, menikmati kemenanganku merebut kembali kekasih ku.
Kau tau rasanya melewati malam yang luar biasa Bersama orang yang kau kasihi? Not just for a sex. Aku mencintainya, tak berubah walau luka yang dia torehkan membuatku harus menelan obat depresi selama 4 tahun.
“Sayang, mobilmu abis nabrak apa? Penyok di bamper depan”
“oh.. pembatas jalan kayaknya Mas, smalem waktu setir mobil khan kesadaranku aku antara ada dan tiada. Hahaha.” Sahutku dari dapur setengah becanda.
“Kamu bikin kopi Sayang? Wanginya bikin pengen nyeruput dari bibirmu aja”
“Aahh kamu omong doank. Sini kalo berani”.
“Kenapa juga harus ngga berani? kamu mau sarapan apa? Mau masak apa sarapan di luar?”
“Mas mau makan apa? Aku masak aja. Istrimu pasti sudah tau kita akan sarapan di mana. Aku ogah loh dimaki secara halus lagi di depan orang banyak. Ngomongnya aja sok-sok an baik.” Sengaja aku memancing reaksi Mas Reno.
Mas Reno melingkarkan tangannya di pundakku, terasa sekali deru nafasnya dekat telingaku. Geli.
“Ya udah, aku makan kamu aja, jangan lupa penyajian kopinya special ya”. Suara Mas Reno pas di telingaku. Darah ku berdesir mendengar jawaban Mas Reno.

---------------------------------------------------------

Setengah berlari aku menyusuri lobi sebuah Rumah Sakit di tengah kota. Info terakhir yang ku dapat di tempat kejadian korban tabrak lari adalah pasutri. Malangnya si istri yang sedang hamil muda mengalami pendarahan. Ya Tuhan.. Semoga mereka baik-baik saja.

"Mbak, korban tabrak lari kemarin malam di rawat di kamar mana?" Tanpa basa-basi aku menuju meja resepsionis.

"Mohon maaf, korban tabrak lari yang mana Bu? Bisa tolong sebutkan nama dan alamat pasien?"

Aku bingung. Aku tak tau nama mereka siapa, alamat mereka di mana. Oh sebentar, aku teringat dompet yang di ditemukan oleh abang ojek yang mangkal dekat sana. Sengaja aku mengaku aku adik korban. Dan beruntungnya aku abang ojek percaya saja. Bahkan dia bilang memang sengaja menunggu kerabat si empunya dompet.

"Maaf Mbak, sebentar" ku rogoh tas ku, mencari dompet yang sepertinya tercecer di TKP, berharap ada tanda pengenal di sana. Benar saja ada KTP di dalamnya, lalu ku serahkan pada Mbak resepsionis.

"Mohon maaf Ibu, pasien baru saja keluar satu jam yang lalu."

"Loh.. Mbak.. apa mereka baik-baik saja? Kok sudah pulang?"

"Iya Bu, sepertinya mereka memaksa untuk pindah RS, alasannya biar lebih dekat dg rumah. Kondisi suaminya ngga masalah Bu, istrinya yang agak memprihatinkan"

"Istrinya knapa Mbak?" Jantungku mendadak berdegub lebih kencang.

"Mohon maaf Bu, saya juga ngga paham, hanya saja tadi sempat adu argumen dg salah satu dokter spesialis."

"Pindah ke RS mana Mbak? Mohon Mbak bantu saya, saya mau ngembalikan dompetnya" untung aku ada alasan untuk mengorek informasi.

"Coba saja ibu kunjungi RS terdekat dari alamat di KTP tersebut. Mungkin dekat-dekat situ Bu."

"Oh iya Mbak, terimakasih banyak infonya"

"Terimakasih kembali Bu.. Semoga cepet ketemu Bu."

"Semoga Mbak, terimakasih."

Coz i'm broken.. when i'm lone some.. i dont feel right when you gone away..
Ku lihat layar HP ku, ahh Mas Reno

"Sayang, kamu di mana? Gimana, ketemu?"

"Maaasss... ngga ketemu.. hiks.. hiks.. hiks.."

"Tenang, Sayang. Kalau kamu nangis gimana mau ngomongnya? Calmdown, Sayang"
Aahh.. suara lembut itu selalu bisa menenangkan segala khawatirku.

"Aku baru keluar dari RS yang diinfoin abang ojek deket TKP. Kata pihak RS mereka sudah keluar sejam yang lalu, aku disuruh cari ke RS deket alamat di KTP ini."

"Ya udah, kamu pelan-pelan aja ya. Nanti hubungi aku kalau sudah sampai. Aku lagi nunggu Wanda, ada yang harus aku selesaikan."

"Heiii.. demi apa kamu nyebut nama dia saat ngomong sama aku?" Emosi ku tersulut.

"Ngga seperti yang kamu pikirkan, Sayang. Ini masa.."
Belum juga Mas Reno selesai ngomong sudah ku banting HPku. Berkali-kali lagu berjudul Broken itu mengalun, ku biarkan saja.
Duh gusti.. sakiiiittt...

--------------------------------------------------------------

Minggu, 16 September 2018

Berbagi 2 (Fatih)

Fatih

Aku benar-benar putus asa. Harapan ku untuk punya keturunan harus kandas begitu saja. Pengemudi mobil biadab!!! Aku dan istriku korban tabrak lari. Aku tak ingat sama sekali karena kami terpelanting jauh saat di tabrak dari belakang. Istriku keguguran diusia kehamilan 12 minggu, kehamilan yang kami tunggu selama 3 tahun pernikahan kami. Tak sampai di situ, kata dokter posisi jatuh Aina (yang entah bagaimana) menyebabkan prolaps uteri. Ya, istriku sangat tidak disarankan malah dilarang untuk hamil.

Beragam ikhtiar sudah kami coba untuk mengembalikan kondisi istriku ke keadaan normal. Entah sudah berapa dokter spesialis kandungan, tabib bahkan sampai hampir saja aku terjerumus ke jalan syirik, untung saja Aina, istriku mengingatkan ku. Dan akhirnya aku menyerah atas keegoisanku menuntut yang Allah tak ingin berikan pada ku. Laa hawla wa laa quwwata illaabillaah apa daya, Allah berkehendak lain. Kami pasrah di atas meja operasi untuk mengangkat rahim istriku. Kami ikhlaskan.

"Aina.. mohon maafkan Abang. Abang yang bikin Ai begini"

"Ngga Bang, bukan salah Bang Fatih. Allah kasih kita ujian Bang." Bulir-bulir bening mengucur deras dari netranya.

"Ai kecewa ya. Maafin Abang Ai.. Abang tau Ai sakit hati, Sayang." Aku benar-benar down tak tega melihat Aina terpukul karena luka kehilangan janinnya belumlah tertutup, sekarang tempat bakal janinnya harus terenggut.

"Ai yakin Bang.. ini rencana termanis yang Allah susun buat kita. Kita hanya perlu memainkan perannya. Allah sebaik-baik kreator, penulis naskah, sutradara dan produser."

Kami menangis tepat setelah istriku sadar dari efek biusnya.

Dalam hati aku mengutuk pengemudi mobil itu. Maaf Aina, Abang belum.bisa ikhlas.

-------------------------------------------------

Seringkali aku lihat istriku menangis sampai membasahi mukenanya. Hati ku ikut teriris, bagaimana tidak? Dia yang aku minta kepada orang tuanya untuk jadi tanggung jawab ku celaka karena ku dan merasa dirinya tak lagi berguna, berbulan-bulan aku tertekan dan selalu menyalahkan diri ku. Kenapa tak ku turuti permintaan istriku Aina untuk pulang pagi saja, jika saja aku tak memaksa pulang malam, musibah itu tak kan terjadi. Astaghfirullah.. aku mulai lagi menyangsikan takdir Mu ya Robb.

Selang 3 tahun sejak kejadian kecelakaan yang menimpa kami di pagi yang sejuk ku dengar lamat-lamat suara ring tone Hp ku di kamar. Oh, Ibuk.

"Assalamu'alaykuum Le.. Piye kabarnya? Sehat semua?"

"Wa'aaykum salaam Buk.. Alhamdulillah Buk.. Kami sehat. Ibuk sama Bapak sehat tho? Tumben-tumbenan telpon Fatir? Biasae lak telpon Aina dulu? Baru kerasa kangen Fatih ya?" Ujarku sedikit menggoda orang tua ku.

"Haahaha.. iyo Le, Ibuk kangen kamu. Ayo pulang sek bentar ada yang mau Kami omongin, tapi Nduk Aina kalo ngga bisa ikut ngga apa, kamu aja yang pulang ke sini dulu, ntar kalo urusan sama Kamu selesai, tinggal urusan karo (sama) Nduk Aina"

"Inggih Buk, Fatih tanya Aina dulu nggih, InsyaAllah Aina ada study tour di sekolah tempat ngajarnya selama 2 hari 1 malam jum'at besok. InsyaAllah Fatih nginep di rumah."

"Iyo Le, Ibuk nteni yo, salam buat Nduk Aina. Assalamu'alaykuum."

"Inggih Bu, InsyaAllah. Wa'alaykum salaam."

Tumben-tumbenan Ibuk minta aku pulang sendiri tanpa ditemani Aina, mantu kesayangan Ibuk.
Ah.. mungkin ada masalah keluarga inti.

Hmmm... aroma bumbu kaldu sapi kesukaanku. Aroma masakan istriku bak magnet yang menarik segala macam logam. Tercium aroma daging dan rempah yang tanpa diperintah langsung memenuhi rongga pencumanku. Wangiiiii.. Seakan kaki ku tertarik ke dapur. Wuzzz.. ku temukan bidadari cantikku dengan seragam daster over size kesukaannya, tangannya asyik menari-nari di atas 2 kompor.
Ahh.. Istriku.. aku tak kan rela menukar kebahagiaan ini dengan kesenangan dunia.

"Masak apa, Sayang?" Sapa ku seraya memeluknya dari belakang. "Wangi".

"Ya donk.. chefnya siapa dulu?" Aina menjawab tanpa menoleh.

"Dek Ai yang wangi, masakannya wangi sih.. tapi kalah sama yang masak" goda ku sambil ku kecup ubun-ubunnya.
"Aduh.. sakit ih Dek, dipuji malah nyubit"

"Salah siapa coba godain gitu? Orang akunya belom mandi juga, coba aku lagi PMS paling kepala Abang yang kena timpuk".
Tiba-tiba Aina terdiam. Ya Allah.. kenapa harus ada kata PMS yang terlontar dari lisannya? Ku lihat mulai ada bintik bening di sudut matanya. Perlahan bintik bening itu bertambah besar kemudian mengucur deras.

"Maaf ya Dek.. Abang belum.bisa jadi sandaran yang kuat buat Dek Ai. Abang masih lemah. Maaf.."

"Ngga Bang, ada Abang di sini nemeni aku sudah bersyukur Bang. Cuma Abang yang Ai punya."

Pagi ini, kami lagi-lagi menangis. Berpelukan untuk saling menguatkan.

-----------------------------------------------------------

Jum'at malam setelah mengantar Aina ke TK tempatnya mengajar aku langsung menuju rumah orang tua ku, tak jauh hanya 14 km dari rumah kontrakan kami.

"Assalamu'alaikuum. Ibuk.. Bapak.."
Ternyata kedatanganku sudah ditunggu.

"Wa'alaykum salaam.. sehat Le? Sibuk banget ya sampai ga nyambang (mengunjungi) orang tua 2 minggu" sindir bapak.

"Maaf Pak, Fatih banyak kerjaan."

"Bapak ngga mau basa-basi. Langsung ae yo Le. Bapak sama ibu sudah sepuh Le. Bapak sama ibu ingin cucu. Bapak paham kamu sangat mencintai istrimu, pun begitu juga dengan Kami. Aina sudah Kami anggap anak, bukan mantu, Le. Tapi ingatkah kamu bahwa kamu anak lelaki Bapak satu-satunya? Cucu lelaki satu-satunya dari si Mbah mu?."

Telinga ku panas, rasanya wajahku pun memerah. Aku maupun Aina tahu cepat atau lambat permintaan ini akan diajukan oleh orang tua ku.

"Inggih Pak.. Fatih paham"

"Inget yo Le, Bapak sama Ibu ngga mau kamu bercerai dengan Aina, Aina kedudukannya sama kayak Kamu di hati Kami. Kami minta Kamu nikah lagi. Alasan Kamu untuk menikah lagi sudah kuat Le. Untuk punya keturunan. Ilmu agama mu InsyaAllah cukup untuk mengimami 2 makmum. Bapak pun yakin Kamu bisa adil. Bapak mohon pertimbangkan permintaan Bapak sama Ibukmu ini Le."

Suara bapak mulai parau sejak aku menjawab pertanyaan pertamanya. Aku tak berani mendongak apalagi sampai menatap mata teduh bapak. Aku yakin bapak menangis. Sedangkan Ibuk sudah dari tadi terisak.

"Inggih Pak.. Fatih pikir-pikir dulu. Fatih butuh istikharoh Pak. Juga diskusi yang tak mudah sama Aina.
"Fatih sudah merenggut masa depan Aina Pak.. Merenggut haknya untuk mendapat julukan ibu dari darah dagingnya sendiri. Fatih belum siap lihat Aina terluka lagi.
"Fatih pamit ke kamar dulu nggih Pak. Fatih butuh ngademin pikiran. Mohon maaf Fatih belum bisa njawab permintaan Bapak sama Ibu sekarang. Mohon kasih Fatih waktu." Aku berlalu masih dengan menunduk. Aku tak berani mendongakkan kepala ku. Kalut.

Aku bingung. Apa iya aku harus menikah lagi? Aku sadar, akulah anak lelaki satu-satunya dari trah si Mbah. Tapi bagaimana perasaan Aina? Aku tak mau ada air mata  lain lagi. Cukuplah sudah kehilangannya yang berturut-turut. Aku tak tega kalaulah harus menambah luka di hati wanita yang sudah merelakan masa depannya demi untuk hidup bersama ku.